Berita teknologi - Inovasi ini berupa rumah garam berbentuk setengah lingkaran dan di bawahnya terdapat kolam garam dan lampu pemanas.
SariAgri - Kualitas garam lokal Indonesia masih dinilai belum bisa memenuhi kebutuhan pasar industri dalam negeri dan luar negeri yang mensyaratkan garam dengan kualitas tinggi.
Berangkat dari permasalahan tersebut, Muhammad Arif Billah, mahasiswa Departemen Teknik Infrastruktur Sipil Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya Jawa Timur menelorkan gagasan Smart House Salt Maker dengan tenaga surya yang diberi nama Smart House Salt Maker Tenaga Solar Cell (SHASA).
SHASA dibuat pertama kali untuk mendorong swasembada garam nasional berkelanjutan di wilayah Kabupaten Banyuwangi.
“SHASA dibuat untuk membantu meningkatkan produksi petani garam menjadi lebih baik lagi,” kata Arif, Jumat (26/2).
Arif menuturkan, pandemi Covid-19 yang mewabah telah memberikan banyak pengaruh di berbagai bidang, termasuk sektor industri garam. Apalagi dengan adanya cuaca yang makin tak menentu saat ini.
Tak hanya menimbulkan lesunya harga garam, kondisi ini juga membuat para petani, khususnya di daerah Banyuwangi, kesulitan dalam proses produksi. Langkah tersebut ditengarai menjadi penyebab pemerintah meningkatkan volume impor garam.
Arif tertarik untuk membuat sebuah sistem tambak yang dapat memproduksi garam secara otomatis tanpa terpengaruh oleh cuaca. Sistem tersebut yang akhirnya ia namai dengan sebutan SHASA.
“Inovasi ini berupa rumah garam berbentuk setengah lingkaran dan di bawahnya terdapat kolam garam dan lampu pemanas,” kata dia.
Lampu tersebut, sambungnya, dikontrol menggunakan arduino dan sensor yang berfungsi untuk memanaskan air laut yang masuk ke dalam rumah garam. Selain itu, SHASA dilengkapi dengan empat sensor lain, di antaranya adalah sensor cahaya, sensor hujan, sensor salinitas, serta sensor suhu dan kelembaban.
“Sensor-sensor tersebut memiliki peran penting dalam mendeteksi keadaan cuaca sekitar,” ungkap mahasiswa yang aktif tergabung dalam Tim Penalaran ITS tersebut.
Arif mencontohkan, jika cuaca mulai mendung dan terjadi hujan, sistem pemanas dari SHASA akan bekerja sehingga air tua atau air jenuh dari laut tetap dapat terproses. Meskipun sistem ini dinilai tidak ekonomis bagi para petani garam, namun sebenarnya pengeluarannya terhitung lebih murah jika dibandingkan dengan jumlah produksi garam yang dihasilkan.
“Untuk kolam berukuran 7x8 meter diprediksi mampu menghasilkan garam sebanyak 500 kilogram, dan jika harga garam berada di kisaran Rp500 per kilogram maka untung yang dihasilkan bisa lebih banyak,” terangnya.
Arif mengaku memilih Banyuwangi sebagai objek studi kasusnya karena cuaca dan iklim di Kota Gandrung tersebut cocok dijadikan lahan garam. Terlebih, kota tersebut juga identik dengan Kota Tuban yang memiliki curah hujan yang cukup tinggi.
Oleh karena itu, dia harapkan ide itu mampu menjadi pilihan alternatif bagi petani dalam mengoptimalisasi produksi dan kualitas garam. Melalui ide penuh inovasi ini, ia berhasil meraih medali perak dalam Online National Essay Competition yang diselenggarakan oleh Indonesian Young Scientist Association (IYSA) Sumatra, Januari 2021 lalu.
“Ide ini ditanggapi juri dengan respon positif. Selain itu, mereka menilai bahwa ide ini mampu memberikan kebermanfaatan jika terealisasikan dengan apik,” ucap dia.
Arif berharap ide tersebut tak hanya berupa gagasan, melainkan dapat direalisasikan ke kehidupan nyata. Selain itu, dia juga berharap agar ide cemerlangnya ini dapat dikembangkan dan dilirik oleh para stakeholder seperti pemerintah dan institusi lainnya.
“Semoga garam lokal dapat terus berkembang, sehingga mampu mengurangi ketergantungan impor,” kata dia.